OPINI - Apapun alasannya, tindakan represif aparat terhadap rakyat adalah perbuatan semena-mena. Terlepas dari silang sengkarutnya berita yang beredar, terlepas adanya kepentingan ekonomi dan isu politik di balik semua ini; faktanya memang ada ratusan polisi yang datang ke desa Wadas.
Begini.
Yang pertama, bukankah tujuan kita bernegara—untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia?.
Artinya, keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi dari semua hukum yang ada. Rakyat adalah setiap manusia yang hidup dan tinggal di atas bumi Indonesia yang wajib dijaga nyawanya, martabatnya, kehormatannya, dan harta bendanya oleh negara. Jika yang dilakukan malah justru sebaliknya, berarti itu adalah tindakan pelanggaran.
Baca juga:
Sang Pengayom Telah Pergi
|
Yang kedua, sebagai negara demokrasi, seharusnya kepentingan rakyat diutamakan daripada negara itu sendiri. Karena di dalam negara demokrasi, tanpa rakyat, negara tidak akan pernah ada. Itulah sebabnya persetujuan rakyat harus menjadi landasan kebijakan.
Maka ketika persetujuan itu tidak ada, atau minimal dialog yang dilakukan belum mencapai kata mufakat—seharusnya negara tidak mengerjakan hal apapun sebelum mendapat persetujuan. Atas sebab negara yang kerjakan dulu-urusan belakangan inilah, akibatnya rakyat bereaksi. Tapi yang dilakukan pemerintah justru mengirim ratusan aparat untuk meredam reaksi mereka.
Ketiga, terkait dengan hakikat demokrasi yang menghendaki distribusi kekuasaan. Bahwasanya rakyat menitipkan kekuasaannya melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar masing-masing unsur saling cheks and balances.
Pada diri eksekutif, rakyat memilih seorang pemimpin agar kepentingan mereka dapat diakomodir karena sejatinya segala unsur kekuasan berkumpul di tempat ini. Dan pada diri legislatif, rakyat mengirimkan perwakilannya untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar kinerja eksekutif sesuai dengan harapan mereka.
Akan tetapi jika fungsi pengawasan pada wakil-wakil di parlemen tidak berjalan, yang terjadi akan sama seperti yang ada di Wadas: eksekutif melaju tanpa kontrol, dan rakyat dibiarkan memperjuangkan hak-haknya sendiri hingga mereka diangkut ke kantor polisi.
Pertanyaannya, ke manakah para wakil rakyat mereka? Bukankah dulu mereka sendiri yang mengemis minta dipilih, merayu dengan kaus yang diberikan secara gratis, menempelkan foto pada poster-poster dan baliho dengan narasi bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat.
Dan tidak hanya itu. Karena menyadari isi kepalanya kosong, mereka datang ke desa-desa dengan membawa uang untuk menyumbang keperluan warga: genting musala yang bocor, tenda untuk kegiatan desa, dan amplop pada hari pencoblosan.
Mungkin atas dasar inilah para legislator merasa bahwa mereka sudah berbuat untuk rakyat. Itulah sebabnya, setelah mendapatkan kursi di parlemen, mereka tidak akan pernah kembali lagi. Membiarkan rakyat berdemo untuk memperjuangkan nasibnya sendiri, membiarkan rakyat bertarung antar sesama, dan membiarkan rakyat tumpah darahnya karena membela hak-haknya.
Di lain pihak, karena merasa telah diusung oleh partai koalisi pemerintah, para legislator memuluskan semua permintaan eksekutif tanpa menyadari bahwa mereka adalah wakil rakyat, bukan wakil partai.
Kekuasaan mereka yang besar hingga bisa mengontrol, menganggarkan, dan melegislasi—ditambah hak imunitas—semuanya yang berasal dari rakyat, dianggap berasal dari partai. Para legislatif yang berwatak eksekutif inilah yang pada akhirnya membuat partai merasa sebagai pencetak para pemimpin. Pencetak para tokoh.
Lalu, partai-partai ini menggunakan kaki-tangannya di legislatif untuk ikut menentukan jalannya pemerintahan. Belum lagi, partai-partai ini menjalin hubungan-khusus dengan para pemimpin di eksekutif.
Praktik semacam ini, yang telah berlangsung di dalam sistim perpolitikan kita, harus kita anggap sebagai penyakit yang musti segera diobati. Penyakit ini berkembang-biak melalui pragmatisme masyarakat yang ingin memanfaatkan situasi kampanye untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari para calon yang sedang ikut dalam kontestasi politik.
Tapi, ya sudah. Sing wis yo uwis. Untuk ke depannya, saya yakin masyarakat makin cerdas dalam berpolitik. Sebab Wadas adalah kita, kasus serupa bisa terjadi di mana-mana.
Tak terkecuali di Blitar, asalkan masyarakat mau menahan diri dari tawaran politik-uang dan menggunakan akal sehat saat memilih, pasti menyakit itu akan berangsur pulih dan akhirnya menghilang dari sistim perpolitikan kita.
Dan untuk para wakil rakyat yang sudah terlanjur duduk di kursinya masing-masing, teruslah gaduh, agar kami bisa bekerja dengan tenang. Jika tidak, berarti kalian sedang tidur di dalam sana!
Oleh: Fajar SH
Pegiat Literasi Blitar dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pimcab Kabupaten Blitar